Menolak Mati Konyol di Era Konyol, Dramaturgi Panji Gozali


JAKARTA
,- Uang, teknologi, status sosial, jabatan, pangkat, citra, dan popularitas, barangkali adalah serangkaian idiom yang menghiasi wajah kehidupan manusia hari ini. 

Menjadi ruh sentral yang menggerakkan laju modernisasi. Entah bagaimana akan kita sebut babak yang sedang kita jalani saat ini. 

Apakah akan kita sebut sebagai kemajuan? Ataukah justru sebuah kemunduran? Dalam batas konteks keselamatan hidup manusia sebagai hamba Tuhan.

Bisa kita sebut kehidupan hari ini adalah sebaris kemajuan hasil peradaban manusia, apabila kita lihat dari dimensi-dimensi kasat matanya.

 Gedung-gedung tinggi menjulang berdiri di banyak titik wilayah. Jalan layang saling silang menyilang. Sepeda motor ribuan Cc, mobil tenaga srengenge, kereta setrum, kereta perut bumi, Shinkansen, MRT, LRT, kapal terbang, kapal laut, kapal selam. Smarthphone canggih, video call AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) .


Bahkan ABAD (Antar Benua Antar Dimensi), uang digital, koin digital, e-Wallet, layanan payment, layanan pesan antar dari makanan sampai jodoh, aplikasi 'weruh sak durunge winarah' dan beragam hasil inovasi lain yang bersifat mutakhir. 

Menjadikan generasi milenial bagaikan wali-wali wingit abad-21. 'Anak emas' yang njebrol langsung dari rahim langit. Setiap satu kali napas berembus, satu inovasi baru dihasilkan. 

Sehingga zaman menjadi gebyar oleh beragam hasil kreativitas dan olah akal manusia. Membuat para Nabi dan Rasul takjub, kagum, salut, sekaligus bingung dan minder.

Tetapi bisa juga, misalnya, kita sebut era ini adalah era konyol, sebuah langkah mundur peradaban. Di mana segala kemajuan yang lahir tetap tak bisa menghindarkan manusia dari beragam jenis degradasi kehidupan. Bukan saja tak mampu menyelamatkan manusia, bahkan pada beberapa sisinya justru terasa cenderung 'membunuh' manusia.
 
Modernisasi seolah membuat manusia maju dan mundur di waktu yang bersamaan. Teknologi benda-benda upgrade, sementara teknologi batin serta rohani downgrade. Potensi intelektualitas tergali, potensi spiritualitas terkubur. 

Manusia sampai pada fase gerhana, cahaya yang memancar terang tertutupi oleh benda entah apa namanya sehingga justru gelap yang sampai padanya. 

Kehidupan seolah memadat menjadi sekadar benda-benda. Pasca Renaisans (yang memuncak di era globalisasi), arus sejarah memang sengaja digiring menuju satu babak materialistik di mana kehidupan manusia mulai distandarisasi berdasarkan ukuran-ukuran duniawi yang kasat mata.

 Kekayaan, popularitas, jabatan tinggi, gelar berderet, serta status sosial yang mentereng seketika menjadi cita-cita tunggal yang diburu oleh seluruh ummat manusia di bumi. 

Manusia menciptakan sendiri standar-standar kehidupan, lantas mereka sebut itu sebagai keberhasilan. Padahal manusia tidak melahirkan dirinya sendiri. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. 

Tuhanlah yang menciptakan manusia. Tuhanlah yang membuat seluruh alam semesta beserta isinya. Maka, sesungguhnya hanya Tuhan pula lah yang berhak menciptakan standar-standar tentang apa yang disebut sebagai keberhasilan.

 Tuhan adalah guru, manusia murid-Nya. Murid tidak punya kuasa untuk menentukan syarat-syarat kelulusan. Syarat-syarat kelulusan hanya ditentukan oleh Sang Guru.

Manusia Mulai Limbung 

Dan di sinilah kita saat ini. Saat ketika manusia mulai limbung oleh standar yang mereka ciptakan sendiri. Saat di mana manusia mulai kebingungan oleh apa yang mereka kagumi. 

Apa yang mereka ciptakan ternyata justru membunuh mereka. Bukankah di Jakarta belum lama ini kita saksikan sendiri betapa ternyata mobil dan motor yang merupakan salah satu temuan terbesar manusia sejak Bapak Adam diusir ke Bumi, justru menjadi teror bagi nyawa manusia ketika polusi sudah sedemikian pekat membumbung di langit. 

Apabila manusia menciptakan sesuatu yang kelak membunuh nyawa mereka sendiri, akan kita sebut itu sebagai kemajuan serta kecerdasan atau kemunduran serta kebodohan?


Jadi bagaimana sebenarnya manusia mengeja kemajuan dan kemunduran? Di situlah Panji Gozali hadir dengan lakon 'Mati Konyol'-nya. Panji mencoba mengajak kita untuk kembali menilai apa yang selama ini kita elu-elukan.

 Yang kita bangga-banggakan. Kembali menghitung segala sesuatu yang terangkum di dalam derap kemajuan: teknologi mutakhir dan arus modernisasi. Drama "Mati Konyol" berusaha membujuk manusia agar mau mengidentifikasi 'sakitnya' sehingga akan otomatis juga tertemukan 'obat' mujarabnya. 

Segala yang akan dipertontonkan oleh Panji Gozali adalah upaya untuk membangun kembali keseimbangan dan keutuhan manusia. 

Sebab apabila manusia tidak utuh dan tidak imbang, manusia akan selamanya terlindas oleh golakkan dinamika zaman.

 Ketepatan kita dalam memandang modernisasi dari berbagai sisi dengan segala manfaat dan mudharatnya sangat dibutuhkan agar alam sadar sampai kepada titik imbang dan utuh yang dewasa. 

Sehingga sesungguhnya apa yang Panji tawarkan adalah sebuah metode evakuasi budaya yang tidak saja menghindarkan manusia dari lindasan zaman, melainkan juga mempersiapkan manusia agar sanggup menunggangi sekaligus menggenggam gulungan ombaknya.

Andaikan memang benar sedang berlangsung sebuah era konyol, keselamatan terkecil yang mungkin kita harapkan kepada Tuhan adalah agar jangan sampai kita ikut menjadi konyol. 

Syukur juga apabila kiranya Tuhan sudi menghindarkan kita dari takdir mati konyol di tengah era konyol.

Penulis : Sobrun Jamil, Redaksi Buletin Lintang 
(Las)
Diberdayakan oleh Blogger.