Mati Konyol: Paradoks, Retrospeksi, Kegamangan Dramaturgi Panji Gozali


JAKARTA
,- Pintu rekreatif tulisan ini dibuka dengan pertanyaan dari seorang awam, tentang apa uraian dramaturgi, dramaturg, dan drama. Bagaimana ciri, konvensi, guna, aturan, tugas, formula dari tiga segi: dramaturgi, dramaturg, drama?

Kalau memang pengertiannya diperlukan, barangkali menjadi tugas umum pelaku teater, khususnya Teater Moksa. Untuk mencari, mengolah, dan mengedarkan pola dari tiga rumusan tersebut.

Seandainya siap Mati Konyol di akhir pertunjukan, sebagaimana anjuran lakon, kira-kira apa jawabnya di awal gairah hidup dan giat teater ini.

 Itupun kalau kita bersedia menganggap peristiwa teater sebagai peristiwa pencerahan menjadi lebih manusiawi.
 
Sekalipun hanya mengenai salah satu segi paling remeh saja dari kehidupan. Tetapi subtansial terhadap dasar nilai-nilai dan corak kreativitas lebih terampil mengolah otentisitas, sementara perasaannya dipupuk dengan mengalami realitas sehari-hari dan realitas teater menjadi lebih halus.

Sehingga apa yang tersaji di pentas dapat meluas dan mendalam. Sebab sesuatu yang masuk tidak pernah sama dengan apa yang keluar, begitupun penonton di gedung pertunjukan, atau pembaca melalui pagina.

Drama-Realis Suatu Paradoks

Jika Bertolak dari Kegamangan
Kedatangan naskah Mati Konyol-nya Panji Gozali ini menawarkan saya untuk mencoba rekreatif melewati jurang antara realitas sehari-hari dan realitas teater. 

Sebuah permainan yang sama sekali belum memacu adrenalin spektator memang sewajarnya layak diapreasi keberaniannya untuk menerbit sebagai naskah drama dan patut diuji cita rasa pertunjukannya. 

Sebagaimana usaha, jatuh tujuh kali berarti bangun delapan kali, atau semacam gali lobang tutup lobang.

Kegembiraan saya tidak terletak pada percobaan pertama setelah tuntas membaca dan belajar merasakan hidangan penulis naskah untuk dinikmati pembaca seperti saya- juga spektator nantinya-  melainkan pada daya mencicipi kegalauan dengan meluap-luap, kalau tidak mau dianggap berkobar-kobar, dengan semangat pesimistik yang bergelora mewartakan gejala zaman kini kian berbudaya.

Sangat lazim diketahui, bahkan klise. Tapi tidakkah sekarang kita menyadari ternyata citraan kegalauan manusia modern, seperti tergambar dalam lakon Mati Konyol, diliputi konflik banyak hal seperti: sukarnya akses rumah sakit dengan jaminan biaya gratis, orang-orang menjadi gemar bergumul sendiri dengan handphone, orang-orang menjadi pasif dihadapan kecelakaan umum karena memilih aksi mengabadikan momen ketimbang reaksi memberikan pertolongan dan yang terasa ganjil adalah ketika seorang tokoh peran-waria (Betsy namanya) sedang mencari tempat tinggal calon suaminya tapi dengan bermodalkan alamat tulisan. 

Apa guna kemajuan kalau tidak mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi? Di satu sisi, lakon ini keras meng-kritik sesuatu—yang tanpa disadari—ternyata kita juga menerima fungsi kegunaannya serta melakukan sesuatu tersebut untuk memudahkan lagi meringankan segala kemungkinan. 

Di lain sisi, Mati Konyol merupakan kabar sedih yang menggembirakan atau gembira yang menyedihkan di tengah hidup yang kian rentan mati tanpa pernah kenal usia, tapi kita terlanjur terburu-buru mendakwa yang muda bisa lebih dulu. 

Karena sebelumnya sudah jelas indikatornya. Lalu, apa kata yang tepat selain kalau bukan paradoks. Ini pun sangat mudah dibantah dengan pernyataan bahwa memang demikian hasil fantasi imajinasi atau konsep abstraksi yang absurd.

Pengadeganan dalam cerita selalu diawali dengan prolog “siapa”, sifatnya identifikasi belaka, tapi bukan penanda identitas. 

Melainkan sekadar gambaran pengenalan antar masing-masing tokoh yang memang karib sekali. Hal ini menegaskan bahwa hubungan sosial antar tokoh saling mengerti bahasa tetangga satu sama lain: sulitnya di mana dan susahnya apa. 

Keakraban demikian menjadi penting diteguhkan kembali lewat pertunjukan, baik di gedung maupun kehidupan sehari-hari, sebab drama merupakan rangkaian roda kebudayaan dari gerak, komunikasi, situasi, reaksi, sifat dan sikap terhadap fenomena masa kini. 

Alur lakon pun linier, berangkat dari eksposisi pengenalan “siapa” menuju silang konflik-konflik “apa” yang menggumpal menjadi komplikasi, sehingga dapat kita tangkap sebagai krisis, tapi belum sampai ke terminal konklusi atau resolusi tentang “bagaimana” mesti lakon Mati Konyol menjawab dengan kebijaksanaan rasa dan keseimbangan pandangan. 

Adapun menariknya lagi, sebuah drama-realis yang menyalin realitas sehari-hari lalu dikumpulkan ke realitas teater menjadi imaji bertumpuk-tumpuk dan masing-masing memuat konflik pergulatan diri yang seolah kokoh berdiri sendiri dalam imaji tokohnya. 

Artinya, kesemua konflik hadir secara berlapis-lapis, maksudnya berbingkai-bingkai. Tentu saja, secara imaji, berarti keliaran. 

Maka sewajarnya pula keliaran itu tidak lantas diartikan sebagai kebebasan semau-maunya, melainkan juga harus berpijak pada posisi keseimbangan, supaya dapat melihat persoalan tidak hanya dari satu sudut saja. 

Saya pun menyadari bahwasanya pengamatan dan penafsiran retoris terlalu cenderung mengharapkan sesuatu, yang notabene berbeda dengan sikap dan visi lakon dalam memandang kehidupan. 

Sebermula adegan perenungan nasib setiap tokoh, lalu berjalan mengalami fenomena, bagi Panji, dianggap sebagai degradasi kebudayaan. 

Memang, soal-soal seperti yang telah disebutkan di atas tidak bisa kita remehkan begitu saja, tapi juga tidak mungkin mudah untuk mengatasinya. 

Paling mungkin, lakon ini menebar kewaspadaan, supaya tidak menambah masalah dan tetap berusaha meringankan masalah. Meski tahu, tak mungkin. Sebab bukan ketakutan yang menggerakkan kegelisahan berbuat sesuatu, tetapi hidup yang penuh ketakutan memang sering membuat setiap orang gampang gelisah. 

Karena hanya dengan gelisah, kita jadi tergerak untuk berpikir, bagi mereka yang mensyukuri karunia Tuhan yaitu akal.

Agaknya menjadi berlebihan jika drama-realis seperti Mati Konyol bertolak dari kegamangan pandangan masyarakat umum, padahal itupun kurang tepat dan presisi dalam memandang sesuatu, akibatnya hanya membagi-bagikan suatu hal paradoks yang dinilai memiliki kekayaan imajinasi tanpa keterlibatan peran apa-apa.

 Meskipun bukan tidak berarti apa-apa, bahkan sama sekali tidak sia-sia, karena terutama sadar atau disadari ternyata citraan lakon ini dapat menyentil, sekalipun belum menyentuh. 

Menyentil dengan nilai sebagai berikut: sikap, gagasan, perasaan, moral, pandangan hidup, dan kegelisahan seorang penulis naskah, ataupun sutradara.

Rasa-rasanya Mati Konyol mengambil peran penyadaran. Untuk kita renungkan dan maknai lagi semua gejala dengan proporsi yang pas sesuai takaran. 

Supaya kita tidak mudah ikut arus menghakimi, mendiskreditkan, mendakwa, menghukum, mencela, menuding, apalagi sampai menghina. Agar kita tidak gampang melegitimasi sesuatu yang belum tentu sebagai sesuatu yang mutlak buruk, tidak gampang meng-konotasi-kan denotasi ataupun sebaliknya, juga tidak gampang memberi stigma sesuatu yang masih tergantung tanpa perimbangan-perimbangan yang tepat dan jitu.

Retrospeksi Tragikarikatural

Tema paradoks yang telah dijelaskan di awal, bukan label khusus dilekatkan pada lakon Mati Konyol, tetapi saya fokuskan untuk mengingatkan diri sendiri dalam memandang kehidupan senantiasa wajib berpijak pada posisi keseimbangan. 

Kita tentu mafhum, sangat percaya bahwa kehidupan terkait dengan dualitas: baik atau buruk. Tapi bukan berarti sebuah pertentangan, bisa jadi semacam pengendalian atau pengelolaan ke arah yang mungkin dapat bermanfaat, asalkan tidak merugikan satu sama lain.

Mati Konyol laiknya kaca benggala dari drama (tersebutlah Romeo and Juliet) Shakespeare, sebagaimana penulis naskah menyitir dalam prakata bukunya. 

Panji Gozali mencoba merekonstruksi pemahaman naskah tersebut sesuai ciri imaji khas pengamatannya sendiri. Dengan artistik sederhana, kalau boleh dibilang seadanya, merupakan perulangan-penyinambungan konsep yang jauh sebelumnya sudah pernah ada dan dipakai oleh suatu kelompok teater tertentu. 

Dengan latar pemanggungan apa adanya seolah mungkin dapat mengembalikan atau mengantarkan teater ke hati masyarakat kembali. 

Dengan aransemen musik yang bertumpu pada lirik-lirik ‘pos jaga malam’ berupaya mematangkan kreativitasnya sendiri.

Adapun yang paling berat dari Mati Konyol adalah daya kelucuan yang seharusnya bersumber sedap ke selera kata-kata. Karena kelucuan tidak terletak pada humor-humor fisik yang kemungkinannya bisa menyakiti satu sama lain: seperti mencela atau melakukan tindakan yang tidak wajar.

 Pada sisi tertentu, karakter masing-masing tokoh dalam lakon ini sebenarnya menyadari tak ada yang lebih lucu daripada mengetahui nasibnya sendiri. Kadangkala memang menyedihkan, sekaligus lucu. Tapi kelucuannya tidak cukup disambut tawa. 

Sebab, lucunya getir. Itulah sebabnya, Mati Konyol adalah sebuah lakon tragikarikatural. Ditambah lagi, lakon ini terlalu banyak menampilkan peristiwa yang disajikan di panggung, boleh dibilang cuma mengaduk-aduk perasaan. Tapi tetap tidak bisa kita anggap lelucon remeh-temeh, sebab pembawaannya serius membahas soal-soal aktual dan faktual.

Akan tetapi, drama-realis yang hanya bertumpu pada bahasa verbal, hanya mampu menceritakan peristiwa sebagai konflik yang sangsi. Begitupun lakon tragikarikatural tidak cukup dilukiskan gerak dengan bahasa non-verbal, sekalipun mampu mengantarkan suasana-suasana kelucuan yang garing. 

Seandainya jika keduanya, dapat dikombinasi dan dielaborasi melalui tahapan-tahapan latihan khusus vokal dan ketubuhan mungkin dapat menyajikan wilayah pengalaman manusia yang bisa saling mengisi dan menjamah sisi antara bahasa verbal dan non-verbal.  

Karena itu, kalau dipentaskan nanti tidak cenderung merupakan ilusi realitas sehari-hari.

Saya bersyukur atas penerbitan naskah lakon Mati Konyol dan menyambut dengan semangat apresiasi pertunjukan Teater Moksa nanti. Walaupun lakon yang tampaknya bernada dasar pesimistik ini, ternyata mengandung penyadaran tentang bagaimana kita mesti menempatkan posisi dalam memandang dan menilai sesuatu. 

Bagi hemat saya, semoga lakon ini menjadi pembelajaraan bersama tentang teater, umumnya dapat menggugah cara berpikir kita untuk terus retrospeksi.

 Sungguh, tak ada yang sia-sia dari sekadar menggambar kenyataan tanpa memberi warna, tapi juga jangan diabaikan begitu saja, sebab apa yang kita bawa pulang dari pertunjukan bisa merupakan dorongan semangat dan suntikan penyadaran untuk tetap menjaga keseimbangan pada daya hidup. Saya rasa, usaha kita yang menjamin nilai sejati hanya itu.

**/Penulis : Syahruljud Maulana, Penikmat Teater dan Redaksi Buletin Lintang
Persembahan Buletin Lintang kepada Teater Moksa.(Las)

Diberdayakan oleh Blogger.